Minggu, 30 Desember 2007

Membedah Pembagian Kerja antara Perempuan dan Laki-laki Etnis Mee Bersama Ny. Theresia Dogomo ,S.Sos

Perempuan sebagai komunitas yang lebih dari separuh jumlah penduduk merupakan unsur potensi yang mutlak diikutsertakan dalam proses pembangunan Papua sebab perempuan Papua memberikan sumbangsih yang cukup dalam berbagai aspek kehidupan baik kepada Negara, Bangsa, Masyarakat dan keluarga sesuai peran dan fungsi kaum perempuannya. Dengan demikian peran serta perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di bidang pendidikan pun telah dibuktikan oleh Raden Ajeng Kartini yang bangkit dengan mottonya yang terkenal “Habis Gelap Terbitlah Terang“ yang mana selalu memperingatinya setiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Kelahiran Kartini di bulan April dijadikan momentum bahwa wanita mempunyai posisi dan kekuatan untuk membuat perubahan baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya ataupun bangsanya. Zaman telah berubah, namun Kartini tetap memberikan insprasi bagi kaumnya dan juga bangsa ini untuk tetap maju. Perempuan saat ini lebih berani untuk bersuara dan juga bersikap untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya demi tercapainya keadaan yang lebih baik.
Sejarah memberikan bukti dan mencacat bahwa peran, fungsi ganda dan sumbangsih dari kaum perempuan sesuai peran yang diemban cukup berat di mana peran ganda perempuan bermain di dalam mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga. Beban kerja perempuan cukup berat dipikul kaum perempuan sehingga terjadi ketimpangan relasi gender. Peran ganda perempuan dalam keluarga untuk meningkatkan ekonomi keluarga ini selain melakukan pekerjaan domestik (seperti, memasak, mengasuh anak, berkebun, mencari kayu bakar, memikul air dan lainnya) dan pekerjan publik alias pekerjaan di luar rumah seperti berjualan di pasar, mengikuti kegiatan posyandu, aktif dalam kegiatan keagamaan, organisasi masyrakat, dan lainnya, yang sangat menyita waktu dan tenaga yang banyak.
Untuk mengetahui dan menganalisis pola relasi gender masyarakat dalam meningkatkan ekonomi maka diperlukan kegiatan analisis gender. Analisa gender membantu mensistematiskan pengalaman penindasan perempuan dan memberi ruang berpikir untuk merubah ketidakadilan gender. Analisa gender meletakkan masalah pada pola hubungan perempuan dan laki-laki sehingga masyarakat dapat memperbaiki pola hubungan laki-laki dan perempuan untuk membangun pola yang lebih adil termasuk dalam peningkatan ekonomi keluarga. Salah satu analisa paling sering dilakukan para peneliti, aktivis, dan para ilmuan adalah analisa profil aktivitas (pembagian tugas gender) dan profil akses serta kontrol perempuan, selain Analisis profil aktivitas (pembagian kerja gender) di mana dikaji apa tugas/ peranan perempuan dan laki-laki, peran rangkap perempuan, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan, kapan pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan (setiap hari atau waktu tertentu), di mana pekerjaan-pekerjaan itu berlangsung, entah di rumah, di kebun, di pasar, kegiatan keagamaan). Sedangkan dikaji dari akses dan kontrol, siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya produktif (tanah, hutan, perlengkapan-perlengkapan, pendidikan dan latihan), lalu siapa yang mengontrol hasil produksi, dan siapa yang memperoleh manfaat dari penggunaan sumber daya yang ada .


Berdasarkan hal inilah saya tertarik untuk menkaji masalah perempuan, apalagi saya agen tabloid suara perempuan Papua di nabire telah memberikan inspirasi untuk menulis maka saya menulusuri bagaimana kehidupan perempuan Mee dalam pembagian kerja , demikian dikatakan ny. Theresia Dogomo ketika usai mempertahankan skripsinya dihadapan para penyuji di kampus Universitas Wiyata Mandala nabire pada rabu 24 september lalu .


Dalam realitas dan hasil study yang dilakukan belum lama ini kata Theresia , Perempuan Mee melakukan beban kerja yang cukup berat. Beban kerja perempuan lebih berat dibandingkan beban kerja laki-laki. Perempuan dapat melakukan pekerjaan, di kantor, di pasar, di kebun, di kali, di danau, di hutan, dan lainnya, selain pekerjaan domestik (pekerjaaan dalam rumah tangga). Kesempatan untuk istirahat dan waktu luang bagi pria lebih banyak (seperti jalan-jalan di pasar, kios, di terminal sekedar menyaksikan kendaraan yang lalu lalang maupun penumpang hendak melakukan bepergian ke Nabire serta ke Enarotali, urus perkara main judi, duduk cerita-cerita dan lainnya). Adanya anggapan bahwa kaum laki-laki merasa tabu dan akan menurunkan derajatnya apabila laki-laki melakukan pekerjaan tertentu yang adalah pekerjaan perempuan.
Dengan demikian pada saat ini telah terjadi ketimpangan atau ketidakadilan dalam pembagian peran antara perempuan dan laki-laki Mee sebab beban kerja perempuan Mee lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan beban kerja laki-laki. Dengan demikian dari analisis gender dengan topik pembagian kerja “selama 24 jam sehari“ dikatakan bahwa: “perempuan dan laki-laki Suku Mee melakukan pekerjaan yang berbeda selama 24 jam, biasanya perempuan lebih lama bekerja, perempuan melakukan pekerjaan yang banyak dan bervariasi dalam waktu yang bersamaan, beban kerja perempuan lebih berat dibanding laki-laki waktu istirahat untuk laki-laki lebih banyak dengan demikian perempuan Mee terlibat dalam tiga tipe pekerjaan yaitu; pekerjaan produktif, pekerjaan reproduksi dan pekerjaan sosial kemasyarakatan serta keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dewasa ini kaum laki-laki Mee sedang memasuki tahap kehilangan identitas diri, di mana seluruh pekerjaan yang dulunya dilakukan oleh laki-laki Mee, sudah lebih banyak diambil alih oleh Kaum perempuan “ urai dogomo yang skripsinya direkomendasikan masuk di meja MRP ini .
Etnik Mee yang mendiami di Distrik Kamuu Kabupaten Nabire telah menetapkan karakteristik perempuan dan laki-laki (gender) berdasarkan nilai-nilai budaya yang mereka anut, termasuk di dalamnya adalah peran-peran apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan peran apa yang dilakukan perempuan, bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan serta sumber-sumber daya apa saja yang dapat dijangkau dan dikontrol oleh laki-laki maupun perempuan dalam memenuhi kebutuhan hidup kelurga, namun di jaman ini penulis melihat bahwa dengan adanya akulturasi budaya secara terus-menerus telah berpengaruh besar pada nilai-nilai budaya yang dianut sebelum adanya akulturasi budaya tersebut, yang berdampak pada situasi ketimpangan gender yang banyak merugikan kaum Perempuan Mee´urai perempuan kelahiran kampung Mauwa ini .

Pada masyarakat Papua umumnya telah menetapkan laki-laki dan perempuan (gender) berdasarkan nilai budaya yang dianutnya, termasuk di dalamnya adalah peran apa yang harus dilakukan oleh kaum laki-laki dan peran apa yang dilakukan oleh kaum perempuan, bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan serta sumber daya apa-apa saja yang dapat dijangkau dan dikontrol oleh laki-laki dan perempuan.
Pada zaman sebelum ada akulturasi (kontak dengan dunia luar) peran tradisional laki-laki dan perempuan cukup seimbang. Laki-laki dan perempuan, memiliki tanggung jawab yang sama beratnya. Laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan politik (perang, membuat negosiasi dengan musuh, menggelar pesta babi atau Yuwo) menjaga keamanan kampung termasuk harta benda keluarga, mengurus pesta-pesta adat, berburu, membuka lahan baru, berdagang. Sementara perempuan bertanggung jawab terhadap urusan pencarian makan di kebun, menyiapkan makan bagi keluarga, mengurus ternak babi dan pekerjaan dalam rumah tangga serta membantu laki-laki dalam menyiapkan upacara-upacara adat, mengasuh anak.
Namun kini lanjut Tedo dengan adanya akulturasi (kontak budaya) dengan budaya luar, peran-peran tersebut telah berubah. Sebagian besar peran laki-laki berkurang/hilang seperti urusan perang, menjaga keamanan kampung, mencari kayu bakar, mengurus upacara-upacara adat, tugas membuka lahan baru (kebun baru) juga semakin dipersingkat/ banyak kemudahan teknologi yang diperkenalkan untuk membantu kaum laki-laki ketimbang perempuan.
Lain halnya dengan perempuan. Dengan adanya perubahan ini peran tradisional perempuan masih tetap, bahkan ditambah dengan peran-peran baru sebagai akibat meningkatnya kebutuhan hidup seperti tanggung jawab untuk mencari uang, mengikuti kegiatan-kegiatan Posyandu, PKK, Kegiatan gereja dan kegiatan kemasyarakatan lainnya .
Dengan demikian dapat dikatakan, kaum perempuan memiliki beban kerja yang cukup berat, sementara pada sisi lain kaum laki-laki berkurang dalam peran sebab adanya perubahan budaya dengan memperkenalkan teknologi baru. Kondisi dewasa ini beban kerja perempuan Mee dalam menaikan tingkat ekonomi Keluarga cukup berat ketimbang laki-laki sebab dari pagi hinggga matahari condong matahari perempuan melakukan sejumlah pekerjaan mulai dari memasak makanan buat keluarga, menyusui anak, memberi makan ternak, mengurus ternak, mengolah kebun, berjualan di pasar, mengikuti sejumlah kegiatan sosial yang melibatkan mereka.
peran dan tugas yang dilakukan perempuan dan laki-laki Suku Mee dalam meningkatkan aspek ekonomi, seperti; berkebun, ternak babi, berdagang, berburu, menangkap ikan mengolah kebun, mengasuh anak .
Sistem Mata pencaharian pokok bagi orang Mee adalah bercocok tanam ubi jalar alias berkebun. Jenis tanaman yang ditanami ubi jalar, keladi, sayur, sayuran dan sayuran tumpang sari lainnya. Semua jenis tanaman yang ditanami sebagian besar dikonsumsi oleh keluarga (terutama ubi jalar), selebihnya dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga juga untuk membayar biaya sekolah. Kegiatan berkebun biasanya dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Sejak pagi pukul 7.00 sampai sore hari pukul 16.30.
Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Jenis pekerjaanan ini awalnya dilakukan oleh laki-laki, terutama pembukaan lahan baru sekaligus membuat pagar sedangkan mulai dari penanaman, pembersihan atau menyiangi, memanen hingga distribusi hasil panenan lebih banyak dilakukan oleh perempuan . perempuan melakukan, berkebun ,membersihkan dan membakar lahan baru, Mencari bibit dan Menanam ,Membuat bedeng ,Menyiangi,,memanen,,menyangkut hasil panen,,distribusi dan pemasaran hasil produksi,, mencari Kayu Bakar dan memikul kayu,membantu dalam proses pembangunan rumah (memasak makanan, mengangkut material pembangunan rumah), sedangkan laki-laki Membuka Lahan Baru ,acapkkali Menebang Pohon ketika membuka,lahan baru, Membuat pagar , Membuat Dranaise,Membangun rumah (sekali-kali),sekali-kali Membuat anak Panah,Mencari Kayu Bakar .Pada sisi lain seperti beternak,Pekerjaan ternak babi ini lebih banyak dilakukan perempuan mulai mencari makan, memberi makan hingga memelihara.Walaupun ada laki-laki yang melakukan, itupun ketika ada pagar atau kandang babi rusak. Pembuatan kandang atau pagar dilakukan kaum laki-laki. Mengurusi babi kaum perempuan dan anak-anaklah yang melakukannya. Pekerjaan memelihara babi umumnya dilakukan oleh perempuan dan anak- anak remaja. Babi yang dipelihara sebagian besar digunakan untuk membayar mas kawin, membayar anak sekolah, dan disembelih pada saat-saat upacara keagamaan atau adat dan jarang sekali sekali daging babi dikonsumsi oleh keluarga setiap hari. Selain itu ada yang beternak ayam, kelinci, sapi dan anjing yang baru diperkenalkan dalam waktu dua dasawarsa yang lalu. Pekerjaan mengurus ternak lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan dan anak-anak. Sedangkan keputusan pengelolaan atas hasil usaha ternak babi lebih banyak dikelola oleh Kaum lelaki. Sedangkan kaum perempuan hanya menyimpan hasil ternak babi .
emanuel goo














Dilema Peran Ganda Perempuan Bekerja

Oleh Emanuel Goo

Tersisa segumpal keraguan di benak manusia modern ketika
menyaksikan kiprah perempuan di bidang-bidang pekerjaan produktif
diluar rumah. Kendati semakin lumrah, namun pertanyaan tentang
peran ke-ibu-an seorang perempuan di dalam rumah tangga masih
senantiasa digemakan. Seakan-akan perempuan tidak dinilai cukup
sukses bila keberhasilan membangun keluarga tidak dibarengi
kesuksesan mengelola rumah tangga. Berakar dari pembagian kerja
secara seksual yang mulai aktif
diberlakukan pascarevolusi industri, saat modernisasi mulai
menyebar bibit dan menyentuh segala aspek kehidupan sosial.
Jejak-jejak pembagian kerja ini antara lain dapat ditelusuri lewat
kajian tentang Diferensiasi Struktural yang menjadi salah
satu ciri modernisasi. Setiap fungsi yang bekerja dalam suatu
hierarki struktural membutuhkan pembedaan tugas yang jelas. Upaya
memodernkan diri sejadi-jadinya ini ternyata menuntut diferensiasi
berlaku pula pada fungsi-fungsi gender.
Diferensiasi ini didukung pula oleh keyakinan teoritisi
Adaptasionis. Adaptasi manusia menghasilkan pertumbuhan ukuran
otak yang karenanya terjadi perkembangan tengkorak juga. Hal ini
menimbulkan kesulitan melahirkan pada nenek moyang kita. Untuk
mengkompensasi kesulitan ini, maka manusia cenderung melahirkan
lebih awal daripada makhluk lainnya, akibatnya anak manusia lahir
cenderung tidak ”sedewasa” binatang. Sementara anak binatang telah
mampu hidup mandiri dalam hitungan bulan, anak manusia tetap
tergantung pada orang tuanya tetap tergantung pada orang tuanya
belasan tahun hingga masa remaja (teenage years) (Fisher, 1992).
Karena perempuan melahirkan dan menyusui anak, lantas secara
simplistik dijadikan kandidat tunggal untuk mengasuh anak dan
menjadi semakin dibebani urusan pengasuhan keluarga. Tidak hanya
mengurus anak-anak, tapi juga suami dan bahkan kadang orang tua.
Hal
inilah yang dianggap cikal bakal pembagian kerja secara seksual oleh
teoritisi Adaptasionis. Terlebih karena dalam perkembangan
selanjutnya, perempuan melakukan tugas-tugas yang ”dekat rumah”,
sementara kaum laki-laki pergi berburu atau mencari nafkah lain
(Buss, 1996). Skema pembagian kerja ini kemudian dilegitimasi oleh
agama dan adat istiadat atas nama kodrat. Masyarakat cenderung
beranggapan bahwa pembedaan atau pembagian kerja secara seksual
adalah sesuatu yang alamiah. Stereotipe yang dianggap kodrat telah
melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan dan laki-laki.
Akibatnya, lahir pembagian kerja secara seksual. Laki-laki mendapat
porsi yang lebih menguntungkan daripada perempuan (Arief
Budiman,1981).
Namun banyak perempuan tidak menganggap begitu, bahkan menerima
peran yang diberikan kepada mereka sebagai sesuatu yang mulia dan
harus dijunjung tinggi. Bahkan Arief Budiman juga mempertanyakan,
mengapa perempuan sebagai kaum yang dirugikan tidak sadar akan
keadaannya? Lihatlah keadaan perempuan: perempuan jadi tergantung
kepada laki-laki secara ekonomis, karena pekerjaan yang dilakukan di
rumah tangga tidak menghasilkan uang (money ). Ditambah lagi,
perempuan seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak
merangsang perkembangan kepribadiannya. Mereka mengerjakan
pekerjaan
yang itu-itu juga setiap hari, diulang jutaan kali. Teman-temannya
pun serba terbatas.
Akhirnya Arief Budiman pun mengatakan bahwa persoalan pembagian
kerja secara seksual merupakan persoalan yang sangat penting karena
merupakan sebuah persoalan eksploitasi separuh dari umat manusia
oleh separuh manusian lainnya.
Secara sederhana pembagian ini menempatkan kaum laki-laki
berperan
pada permasalahan publik sementara perempuan lebih berkutat pada
masalah domestik sebagai ibu rumah tangga. Mulailah berlangsung
normalisasi pembagian kerja ini selama berabad-abad hingga kini.
Pembagian kerja secara seksual ini kemudian terdistribusikan ke
negara-negara Asia Afrika dengan kolonialisme sebagai kendaraan
awalnya. Berakhirnya kolonialisme pasca-PD II dan merebaknya
proyek
modernisasi negara-negara baru merdeka ternyata justru lahan subur
baru bagi tumbuh kembangnya konsep ini.
Tentu saja, seperti berbagai ambisi modernitas lainnya, konsep ini
awalnya seolah-olah bebas nilai. Pembagian kerja secara seksual
bermuara pada tujuan efektivitas dan efisiensi. Sehingga setiap
tindakan sosial dapat terukur dengan parameter-parameter yang
jelas.
Walau setelah konsep ini bekerja tenyata mengerucut juga pada
pembentukan sistem nilai baru. Modernisasi yang menempatkan
kapital
sebagai panglima akhirnya meletakkan sektor publik sebagai fungsi
yang bernilai lebih dibanding sektor domestik, karena sektor publik
memang lebih produktif menghasilkan kapital. Maka terjadilah
subordinasi atas perempuan.
Anehnya di Indonesia, subordinasi ini malah diadopsi dalam sistem
hukumnya. Contoh ketidakadilan gender dalam hukum adalah: 31 (ayat
3) UU No 1/1974 tentang Perkawinan menentukan: suami adalah
kepala
keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pasal 31 (ay 1, dan 2) antara
lain menyebutkan: suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri
berkewajiban mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Ketentuan ini
jelas menempatkan istri dalam posisi subordinat terhadap suami dan
masih senada dengan ketentuan dalam hukum perdata. Misalnya pada
Pasal 105, suami mengurus harta kekayaan istri; Pasal 106, istri
harus tunduk patuh pada suami; Pasal 124, istri tidak berhak
bertindak atas hartanya.
Ketimpangan nilai atas fungsi ini menyebabkan kaum perempuan mulai
menuntut kesetaraan untuk aktif di sektor-sektor publik yang
produktif, untuk menjadi perempuan bekerja. Ide-ide kesetaraan ini
dikemukakan pertama kali oleh Mary Wollstonecraft yang dituangkan
lewat bukunya A Vindication of the Rights of Woman yang
diterbitkan di Ingris tahun 1792. Mary Wollstonecraft menentang
ide yang
menempatkan perempuan eksis hanya untuk menyenangkan kaum laki
-laki dan mengusulkan agar perempuan menerima kesempatan yang
sama dengan laki-laki dalam pendidikan, pekerjaan dan politik. Sebuah batu
pijakan dalam perkembangan gerakan perempuan modern ditandai lewat
buku Simone de Beauvoir Le Deuxième Sexe (1949; The Second Sex),
yang menjadi best-seller di seluruh dunia hingga kini namun yang
jelas menumbuhkan kesadaran feminis dengan ide bahwa ”liberation for
women was liberation for men too”. Salah satu referensi terpenting
juga adalah The Feminine Mystique, diterbitkan 1963, karya Betty
Friedan.

Friedan menyerang domestisitas yang mematikan-pengkondisian
perempuan untuk menerima peran pasif dan tergantung dengan dominasi
laki-laki.
Derasnya tuntutan itu berhasil membobol dinding beton pembagian
kerja tersebut. Munculnya kesadaran akan kesetaraan ini sempat
melahirkan fenomena menarik lahirnya gerakan-gerakan perempuan di
negara-negara berkembang. Kini kita bisa menyaksikan bagaimana
kiprah perempuan seperti tak terbendung lagi. Apakah hal ini berarti
semua permasalahan tuntas?
Ternyata tidak semudah itu. Kebebasan untuk berkarier, berpolitik di berbagai
sektor itu ternyata masih menyisakan warisan paradigma lama yang
menempatkan perempuan sebagai penguasa sekaligus penanggung jawab
urusan domestik. Lahirlah jargon baru tentang peran ganda perempuan
sebagai career woman sekaligus house wive. Peran ganda tersebut
lahir untuk menjawab pertanyaan siapa yang lantas harus bertanggung
jawab pada masalah domestik rumah tangga jika perempuan pun bekerja
di sektor publik.
Alih-alih menangguk kebebasan, ternyata perempuan bekerja malah
tertimpa beban tanggung jawab yang lebih berat lagi. Sementara di
sisi lain, keterlibatan perempuan di sektor publik tidak lantas
membuat kaum laki-laki otomatis juga terlibat dalam urusan domestik
rumah tangga. Nilai kesuksesan bagi seorang perempuan pada akhirnya
harus selalu diricek ulang pada kedua sisi peran ganda tersebut.
Secara psikologis, perempuan juga dituntut memiliki kepribadian yang
siap terbelah ketika ia memutuskan memasuki dunia kerja di sektor
publik. Betapa berat ternyata beban perempuan untuk menjadi modern.Beralih sejenak dari diskursus tentang peran perempuan
modern untuk melakukan retrospeksi terhadap realitas kesejarahan
bangsa kita. Ternyata bagi bangsa kita secara umum, perempuan
bekerja bukanlah suatu fenomena baru yang layak menjadi dilematis
begitu rupa. Sejarah dan tradisi beberapa suku di Indonesia ternyata
telah mencatatkan persenyawaan kedua peran tersebut. Laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga sama-sama memiliki peran dan tanggung
jawab domestik yang setara.
Di berbagai daerah secara tradisional, ternyata telah dikenal
aktivitas perempuan di sektor publik yang juga produktif. Mereka
tidak menjalankan sebuah fungsi yang dibedakan sebagai career woman
atau house wive secara terpisah. Mereka terlibat dalam proses
produksi di sawah, di pasar, kerja kasar bahkan berburu maupun
berbagai pekerjaan lainnya, dalam rangka menjalankan peran
domestiknya juga. Sementara laki-laki pun tak kurang dituntutnya
untuk bertanggung jawab juga pada sektor domestik. Misalnya mereka
dituntut memberi pendidikan bagi anak-anaknya dan peran-peran
lainnya.
Walaupun tentu saja ada juga suku bangsa yang kerjanya
menindas hak-hak perempuan. Diskursus ini memang belum dapat
dikatakan menemukan formulanya yang paling sesuai. Tapi sesungguhnya
kesetaraan dalam rumah tangga adalah keniscayaan. Karena bukankah
berumah tangga adalah sebuah komitmen untuk menjalani kehidupan
bersama-sama. Bukan melimpahkan beban pada salah satu pihak saja.


Disarikan dari berbagai sumber

1 komentar:

asih mengatakan...

artikel anda bagus, saya berharap kesadaran kita semua akan penghargaan kaum perempuan akan lebih baik sehingga apa yang diperjuangakan R.kartini dulu akan terwujud.