Minggu, 30 Desember 2007

memerangi kekerasan

MEMERANGI KEKERASAN TANPA KEKERASAN
Oleh Emanuel Goo
Damaiku, Damaimu, Damai kita . Damai itu indah .Demikian sepenggal tema yang diambil dalam merayakan hari doa” Damai “ sedunia pada bulan oktober lalu di Jayapura dalam rangka menciptakan Tanah Papua sebagai tanah Zona Damai di Papua .Ada apa dengan damai? Mengapa diambil doa damai? Hendak kemana mencari damai? Tak berlebihan bila berbagai denominasi agama (Kristen, Katolik, Hindu Budha ,Islam ) bersatu menurunkan dengan tema “Damai” sebab rasa kedamaian yang dicari selama ini semakin jauh dalam konflik dan kekerasan bernuansa SARA yang merebak dimana-mana baik diti ngkkat local,nasional maupun ditingkat dunia internasional .
Dewasa ini adalah saat-saat yang penuh dengan ketegangan,konflik dan mudah saja menimbulkan kekerasan,baik antara suami,isteri,adik dan kakak,antara suku yang satu dengan suku lain,antara kelompok pendatang dengan kelompok penduduk setempat, orang pedalaman dan pesisir, antara satu agama dengan agama lainnya. Hampir setiap hari dengan mudah kita menyaksikan kekerasan merajalela di mana-mana dan kekerasan dengan sendirinya telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Bagaimana reaksi atas kekerasan yang secara terang-terangan terjadi hampir setiap hari, daerah sehingga mempengaruhi kehidupan . Tidak ada jalan lain selain membawa damai di tengah-tengah kekerasan yang merajalela di sekeliling kita. Damai itu sangat dibutuhkan setiap orang bahkan diri sendiri. Karena itu mulailah berkata tentang sesuatu yang mendatangkan damai diantara kita dan tak lupa pula merasakan hal-hal yang positif untuk memupuk damai diantara kita. Yesus mengajarkan bahwa kita harus berbuat sesuatu yang baik kepada orang lain seperti apa yang kita inginkan orang lain perbuat kepada kita. Berdamai itulah jalan yang terbaik untuk semua orang. Kebencian,kerakusan dan iri hati tidak akan menyelesaikan masalah, malah menambah persoalan dari yang satu kepada persoalan yang lain.
Rasa perdamaian dan solidaritas dimana-dimana sudah dilukai,yang dulunya diakui ramah dan bersahabat. Kini tiba-tiba, menjadi keras. Kejam dan brutai menjadi pembunuh-pembunuh perang saudara seperti kritik di Ambon. Hak-hak asas manusia terus-menerus ….terakhir pembunuhan Theys dan penembahkan warga sipil di timika……dan kecil masih saja diusur, dikorbankan ………………penegak hukum untuk melindungi keadilan malah men jadi korupsi pemerasaan. Harkat dan martabat luhur sebagai manusia merdeka sudah pudar menggelam . lagi dalam primodialisme kemudian muncul lagi fanatisme buta antar SARA, (suku Agama, Ras, Adat dan Istiadat) yang dibakar dan dikipas-kipas oleh provokator bayaran dari penguasa-penguasa politik , seperti halnya terror pemboman rumah pemimpin redaksi radar timor di Kupang, NTT. Belum lama ini akibat pemberitaan-pemberitaan yang kritis dan objektif, keterlibatan dan kedisiplinan yang membawa rasa damai bagi kita merosot sekali. Bukan hanya didaerah kita semua hal itu terjadi tetapi daerah yang jauh dari kita bahkan diseluruh dunia menjadi perang politik kekerasan dengan terorisme. Kejahatan criminal balas dendam perompokan dan pembunuhan (baca: penembakan warga asing di Timika beberapa waktu lalu )genoside secara besar-besaran untuk menghapuskan suatu etnis sehingga jutaan jiwa manusia menjadi korban kon g dan kekerasnan.
Kecenderungan manusia papua ini adalah menanggapi konflik dengan bentuk kekerasan , baik kekerasan fisik, kekerasan struktur, maupun kekerasan budaya, sehingga budaya kekerasan menjadi kenyataan dan sajian utama dalam pemberitaan di berbagai media massa, jugaa “Menu” dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan tanda-tanda kerusakan dunia dan kebobrokan manusia ini terjadi berulang kali karena meraja lelanya individualisme, hedelisme, dan korupsi, skala besar yang dengan serakan menjarah kekayaan bumi sampai merusak lingkungan hidup kini dan masa depan.
Hal ini mengingatkan manusia/kita sedang sakit. Penyakit ini terlihat dari kecenderungan dalam setiap konflik yang langsung bereaksi dengan kekerasaan. Bahkan sering kali secara biadab seakan-akan kemampuan untuk sabar, menerima keberadaan orang lain yang berbeda suku, Agama, dan Adat istiadat sudah sirna dan menguap. Manusia menjadi masalah secara psikologi. Kita tidak mampu membawa diri secara normal mengolah konflik-konfliknya secara wajar. Budaya kekerasaan sudah merupakan kenyataan dalam kehidupan bangsa besar ini setiap gesekan atau konflik dapat berakhir dengan pembunuh atau perkelahian masal.
Dari kemelut kekerasaan ini, dapat dipertanyakan apa latarbelakang suasana yang membuat kita mengekspresikan kemarahan dan keputusan dengan kekerasan? Bahwanya modernisasi dan globalisasi ikut andil atas manusia dunia yang membuat berada dalam keadaan tegang secara terus menerus sehingga terjadi proses transformasi budaya yang mendalam dari masyarakat
M,on tradisional kepasca tradisional maka dengan sendirinya terjadi disorietasi/disfungisonal yang terasa sebagai ancaman ekonomis, psikologi dan plitis.
Cara –cara penyelesaian konflik tradisional tidak mampan alias mendukung, begitu pula dengan cara-cara tradisional untuk menghadapi kemajemukan dalam masyarakat tidak lagi bekerja. Maka otonomis kecenderungan primodialistik kedalam dan agresif keluar bertambah selama manusia mengalami proses modernsisasi sebagai proses yang positif untuk meningkatkan rasa kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan. Tekanan umum ini mengapa baru dalam tahun-tahun terakhir ini kekerasaan demikian meraja lela ? mengapa kita mudah terprovokasi ? tak dapat dipungkiri bahwa adanya tendensi-tendenssi eksklusif, baik dikalangan agama maupun suku bangsa (kelompok masyarakat) yang memiliki dampak mengkafirkan yang beragama lain dan mengajar kita untuk mengambil jarak dari orang lain yang kafir, segala macam cerita tentang golongan atau kelompok lain tanpa usaha untuk menjamin kebenarannya, pemanasan hubungan antar golongan atau siapa siapa kita ppermasalahkan ? Entahlah .namun semuanya ini tidak terlepas dari system kekerasaan orde (ORBA) yang merupakan melembaganya kekerasaan. Berdasarkan kekuasaan tak tertanding, hampir semua konflik sosial/kepentingan tidak selesaikan secara rasional, obyektif, atau dialogal yang adil, melainkan menurut kekuasaan kooptasi, ancaman, intimidasi, dan penindasan. Hanya dengan jalan itulah orang atau kelompok orang dapat mempertahankan diri atau maju selama orde baru. Kebrutalan aparat (TNI-POLRI) dimana pun mereka beraksi dibarengi dengan slogan pada masyarakat tentang-tentang nilai-nilai luhur” Rasa kebangsaan dan persatuan kesatuan yang menambah sinisme dan rasa putus asa. Kenyataan membukti yang jelas,jika kita memilik kasus-kasus ditanah air , konflik SARA di Ambon, GAM di Aceh OPM di Papua,dll.hal ini dapat mengerti bahwa dengan slogan mempertahankan persatuan dan kesatuan demi keutuhan NKRI itu terjadi kekerasaan fisik yang mengorbankan saudara-saudaranya sendiri.
Kita diliputi budaya kekerasaan semakin menurun karena konflik sehari-hari tidak lagi mampu ditangani dengan baik.melainkan langsung meransang kekerasan serta melibatkan komuitas yang bersangkutan oleh pihak-pihak gelap alias provokator (mungkin TNI,POLRI, penguasa, mungkin juga warga Sipil lainnya).
Kita adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai etnik, agama dan adat-istiadat ini, kini titik sambung pluralistic mulai retak, ibarat terkena atrofi kemampuan untuk berisolidaritas melebihi lingkungan primodial yang mengarah suatu penyempitan focus perhatian pada kelompok sendiri karena kemampuan untuk merasakan kebersamaan, telah digerogofi oleh konsep “ kami dan mereka “ bukan kita semua.Hal ini dirasakan suatu ancaman besar yang hidup dalam kehidupan pluralitas. Lantas mengapa kita menjadi seperti itu ? Pluralistas kita adalah kenyataan yang ada, dulupun seringkali terjadi konflik ketegangan tetapi merebaknya konflik komunitas seperti sekarang ini baru mulai beberapa tahun belakangan ini, (sejak Presiden Soeharto turun dari Prabonnya).
Aktualisasi ditingkat rakyat langsung hanya akan efektif, apa bila diciptakan kondisi structural yang mendukung dimana aparat pemerintah (TNI-POLRI), Efektif, Yudikatif) harus mengembalikan hukum dan membongkar provokasi yang hendak menggunakan keadaan konflik. Penggaran hak asasi manusia di tegakkan secara tegas dan transparan yang demokratis. Seharusnya kita belajar untuk menghadapi konflik-konflik diantara kita secara terbuka, rasional dan dialogis. Bersama dengan itu seakan-akan kurang berfungsi. Karena hidup dalam situasi kondisi yang keras, kacau, dan menegangkan dalam kehidupan kita, maka dalam mengatasi konflik dan kekerasan. Nilai-nilai asli masyarakat yang positif diaktualisasikan, dengan menyadari pluralistas dalam agama, etnis, dan budaya sebagai suatu bangsa besar.
Adalah suatu realita bahwa ini tokoh agama sudah menjadi figure yang selalu dihormati. Disegani dan diagungkan, oleh umatnya maka guna menghadapi aneka macam konflik SARA belakangan ini, tokoh agama telah berbuat berbagai usaha perdamaian terakhir seruan Doa Damai Sedunia dan berbagai Dominasi, agama. Suku bangsa, budaya melalui rekonsiliasi dengan harapan membangun hidup bersama dalam suatu social society yang damai dan sejahtra DAMAI ITU INDAH.
Penulis Adalah koresponden suara perempuan papua Pemerhati Tinggal Di Nabire







POTENSI KEPEMIMPINAN TRADISIONAL MASYARAKAT PAPUA
Oleh
EMANUEL GOUBO GOO

Masyarakat papua terdiri dari berbagai etnis yang berjumlah + 253 kelompok etnis.Setiap kelompok etnis memiliki sistim kepemimpinan tradisional tertentu dan menampilkan sifat-sifat yang pada satu sisi memiliki persamaan dan pada sisi lain memiliki perbedaan-perbedaan. Dalam disertasi DR.J.R.Mansoben,MA secara gamlang membagi 4 tipe sistim pemimpinan tradisional alias local dipapua,diantaranya, sistim kepemimpinan kepala suku,sistim kepemimpinan kerajaan,sistim kepemimpinan pria berwibawa,dan sistim kepemimpinan campuran.
Bila ditinjau lebih jauh dari keempat tipe sistim kepemimpinan tradisional yang tersebar dipap[ua ini,banyak memiliki ciri-ciri spesifik yang memperjuangkan kesejatrahan umum,menegakkan keadilan dan kebenaran,serta menjaga keselamatan bagi warganya. Lantas sistim kepemimpinan formal masuk kedalam sistim kepemimpinan tradisional,maka terjadi dualisme kepemimpinan didalam masyarakat,timbul pertanyaan dampak apa yang diterima oleh masyarakat,atas berbaurnya sistim kepemimpinan tradisional alias local dengal kepemimpinan formal.
Awal kehadilan atau masuknya sistim kepemimpinan formal yang dibangun oleh pemerintah belanda dan Indonesia ini,telah terjadi kenangan dalam-dalam sistim kepemimpinan local, sehingga terjadi pula dualasmapemimpinan antara local dan formal yang dalam berimbasnya kebingugan dalam masyarakat tradisional. Disinilah awal pengujian legitimasi kepemimpinan tradisional dan sistim keterpimpinan local yang adalah telah ada legalitas atas cirri-ciri dan kenabilitasnya dalam alinea perpolitikan dimasyarakat.sememtara kepemimpinan fomal diterim dan akui begitu saja tampa adanya suatu pengunjian regetimasi,karena suatu hal baru yang berasal dari pemerintah.
Kepemimpinan tradisional yang telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Papua mulai tergeser dengan kehadiran kepemimpinan formal yang diturunkan oleh pemerintah Belanda ataupun Indonesia yang diplementasikan melalui program pembangunan Desa,Kecamatan,Kabupaten,dan lainnya,sehingga otomatis pula pemimpin-pemimpin local tergeser dan mulai menyaksikan kepemimpinan I formal[Desa,Camat,Bupati,Gubernur,DPR dan lainnya dengan implementasi program,sementara kepemimpinan local implementasinya dengan kapabilitas yang dimilikinya lebih cenderung mengutamakan kesejahteraan warga,kesejahteraan warga,kesemuanya dilakukan dengan nurani yang polos tanpa ambisi radikal menjadi pemimpin local. Lain halnya dengan system kepemimpinan formal [Desa,Camat,Bupati,DPR,dan lainya].selai syarat dengan ambisi naik ke level yang lebih tinggi,juga mencari masa melaui korupsi,kolusi dan nepotisme.
Sistem kepemimpinan formal yang telah bercokol hingga kedaerah terpencil ini telah terjadi perubahan-perubahan radikal,yakni semakin menyempitnya ruang gerak peranasn took-toko tradisional,karena mereka tidak diperhitungkan lagi dalam implementasi program pembangunan didaerah kekuasaannya,sehingga tidak mengherankan bila terjadi penyimpangan-penyimpanggan yan merugikan rakyat kecil,disana sini saja kasus korupsi diatas program pembangunan yang diimplementasikan,yang pada ujung-ujungnya hilang mosi masyarat terhadap system kepemimpiana formal baik ditingkat desa,hingga pemerintah pusat sekalipun. Disini banyak kasus yang dapat kita lihaat,dana IDT,Bangdes,PPK,ditingkat desa,misalnya banyak warga desa tidak menikmati dana-dana bantuan tersebut,yang tragisnya dinyalir dana-dana tersebut jatuh ditangan kepala desa dn aparat Camat,dan lain-lainnya,sehingga apatisme pembangunan yang terjadi disana. Hanya sebuah kasus kecil dalam system kepemimpinan desa,belum kasus besar lag yan terjadi ditingkat kabupaten,propinsi,bahkan pusat.berkaitan dengan ini Drs.Mieke sehousen dalam sebuah hasil penelitian mengatakan “Tidak mengheraankan hal ini bukanlah gejala yan
Baru.Ia menyebut kesulitan dalam melaksanakan langkah-langkah pemerintah jika kepala desa tidak disenangi:kemudian penduduk desa ,dengan perlawanan pasif,sekalipun merugikan ini”. Disinilah legitimasi system kepemimpinan diuji dimata rakyat,baik itu kahadiran aparatur pemerintah sebagai pemimpin formal implementasi program.
Sistem kepemimpinan tradisional telah tergeser dengan adanya berbagai transformasi termasuk system kepemimpinan formal yang merakyat dimana-mana.lantas dengan adanya pembentukan majelis rakyat papua,kasak-kusuk membicarakan,tokt lokaal sebagai salah satu pilar dimeja tersebut,pada hal beberapa decade lamanya tokoh local diposisikan hanya sebagai penonton bahkan tak perna dilibatkan dalam implementasi program alis proyek pembangunan,yang semestinya dialah yang memiliki pengaruh dimasyarakat.apabila kalaupun nanti majelis rakyat papua mulai diisi,percaya atau tidak akan muncul tokoh-tokoh local gandungan alias aspal [Asli tapi palsu ]yang mengaku dirinya tokoh dari suku ini atau suku itu,sementara tokoh pemompin berkualitas masih jauh berada dibalik gunung,lembah ataupun dipinggiran pantai,karena telah digeserkan sebagai pemimpin local dengan adanya kepemimpinan formal.dan juga pemimpin local diadakan yang muncul sepperti itu telah terkontaminasi dengan kepemimpinan formal yang penuh dengan kebobrokan,sehingga perlu pengujian criteria-kriteria legitimasi dan kapabilitas perpolitikan tradisional dimasyarakat.bila seorang mengakui dirinya sebagai tokoh adapt atau sejenisnya guna memperoleh jabatan anggota majelis Rakyat papua atau untuk memperoleh sesuatu,maka perlu dipertanyakan legitimasi dan kapabilitas dia sebagai tokoh masyarakat alias pemimpin local dari suatu etnis,baik yang mengakui sebagai bobot,tonowi,ondofolo,kayepak,kain,nagawan ,sonowi,membri,dan lainnya,sehingga diakui ketokohannya. Untuk itu perlu legitimasi dari masyarakat sebagai seorang tokoh,sebab dengan berbagai perubahan sosial budaya yang berubah cepat itu secara otomatispula telah berubah ketokohan yang sebenarnya demi memperjuang dewasa ini keakuan toko local telah terkontaminasi dengan kepemimpinan formal yang penuh dengan politik kotor dengan berorientasi untuk mencari kepentingan pribadi mengorbankan rakyat kecil yang tarah tau apa-apa.sebab pemimpin local dari suku-suku bangsa yang ada dipapua telah diuji dan memenuhi criteria serta memiliki kapabilitas dimasyarakat,sehingga ketokohannya mendapat legitimasi dari pendukunnya,hanya saja mereka tersebar dikampung-kampung terpencil.
Dari uraian ini,ditarik simpulannya bahwa legitimasi kepemimpinan formal telah menggeserkan posisi tokoh masyarakat,sehingga berubah pada kegoncangan dan ancaman system kepemimpinan local,selain itu dengan adanya kepemimpinan formal meninggal preseden buruk bagi warga dengan mencermati penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemimpin formal,juga terjadi dualisme kepemimpinan yang berimbas pada apatisme masyarat terhadap berbagai implementasi program pembangunan karena masyarakat mengakui kepemimpinan local.bersamaan itupula terjadi perpecahan solidaritas sosial yang ada sejak leluurnya,serta telah membatasi ruang pemimpin local,pula kepemimpinan formal telah mematikan kreatifitas masyarakat dalam usaha-usaha produktif ,yang ujung-ujungnya kini mereka mengharapkan bantuan [beras JPS,Beras Miskin alias raskin,bantuan kukesra,dan lainnya] dari pemimpin formal yang hanya membuka peluang kepada masyarakat mengharapkan bantuan lagi,yang tahu-tahunya pemerintah [pemimpin formal]pun meminjam bantuan luar negeri[padahal diapun trada apa-apa].
Disinilah imbas dan problematika dari system kepemimpinan formal, sementara kepemimpinan local telah sirna bersama waktu, yang kini tinggal hanya nama atau konsep” Tonowi,Ondofolo,Kain,Sonowi,Kayepak,Tesmaypit,Bobot, Nagawan,dan lainnya,sedangkan isi atau ciri dan kapabilitas tarah tau entah kemana perginya.
Akhirnya,bila kursi majelis rakyat papua mulai dibagikan,maka jangan lupa sisikan pemimpin local yang ada dikampung-kampung,baik itu dibalik gunung,lembah,pesisir,pantai,daerah aliraan sungai,daerah rawah dan lainnya.perhitungkan pemimpin local sebab dia mempunyai pengaruh yang sangat kuat dimasyarakat juga mengetahui keberadaan masyarakat serta memperjuangkan segala aspirasi dan kesejahteraan warganya.

Penulis Adalah
Kontributor Papua Pos Nabire &
Wartawan Suara Perempuan Papua

Tidak ada komentar: